Advertisement

Cara Memahami Ilmu Nahwu tentang Mansubat Al-Asma’ (Isim-Isim Yang Dibaca Nashab) lengkap dengan contoh dan terjemah

Mansubat Al-Asma’ (Isim-Isim Yang Dibaca Nashab)

Yang dimaksud dengan mansubat al-asma’ adalah kalimat isim yang keadaannya beri’rab nashab. Jadi jika ada kalimat isim yang kedudukannya menjadi salah satu dari mansubat al-asma’ ini, maka kalimat isim tersebut pasti beri’rab nahsob. mansubat al-asma’  ada 14  macam, yaitu:

A.   MAFÚL BIH (OBJEK)

Maf’ul Bih merupakan salah satu isim yang Manshub yaitu di fathah kan akhir hurufnya. المفعول به(Objek Penderita) adalah isim yang akan dibahas dalam makalah ini. Dengan alasan terkadang kita sulit menentukan المفعول به dalam suatu jumlah mufidah atau dalam beberapa jumlah mufidah terutama dalam ayat-ayat Al-Quran. Maka dari itu makalah ini disusun untuk membantu kita dalam memahami tentang المفعول به .

1.    Pengertian المفعول به

اَلْمَفْعُوْلُ بِهِ هُوَ الْإِسْمُ الْمَنْصُوْبُ اَلَّذِيْ وَقَعَ عَلَيْهِ فِعْلُ الْفَاعِلِ, وَ لَهُ حُكْمٌ إِعْرَابِيْ وَهُوَ " اَلنَّصْبُ " أَيْ أَنَّهُ دَائِمًا مَنْصُوْبٌ .

اَلْمَفْعُوْلُ بِهِ إِسْمٌ مَنْصُوْبٌ يَدُلُّ عَلَى مَنْ وَقَعَ عَلَيْهِ الْفِعْلُ الْفَاعِلُ وَ لَاتَتَغَيِّرُ مَعَهُ صُوْرَةُ الْفِعْلِ .

Artinya :

Maf’ul Bih adalah Isim manshub yang terletak pada fi’il dan fa’il, dan hukum I’rabnya adalah Nashob. Dan Maf’ul bih adalah isim yang menunjukkan kepada objek /penderita.

Contoh lain :

Ø  كَتَبَ الْوَلَدُ الدَّرْسَ  ; Anak itu telah menulis pelajaran

Ø  ضَرَبَ الأُسْتَاذُ وَلَدًا ; Ustadz itu telah memukul seorang anak

Ø  شَرِبَتْ مَرِيَمُ اللَّبَنَ  ; Maryam telah meminum air susu

 

Maf’ul Bih adalah objek penderita, yang dikenai suatu perbuatan. Jika fi’ilnya “memukul” berarti maf’ul bih-nya “yang dipukul”. Jika fi’ilnya “menolong” maka maf’ul bih-nya “yang ditolong”.

Dalam contoh di atas :

Ø  كَتَبَ = fi’il,        الْوَلَدُ = fa’il,       الدَّرْسَ = maf’ul bih

Ø  ضَرَبَ = fi’il,      الأُسْتَاذُ = fa’il,    وَلَدًا = maf’ul bih

Ø  شَرِبَتْ = fi’il,      مَرِيَمُ = fa’il,      اللَّبَنَ = maf’ul bih

Setiap Maf’ul bih harus senantiasa Manshub.

 

2.    Pembagian Maf’ul Bih

Maf’ul bih terbagi kepada dua bagian, yaitu :

1)      ظاهر           : yaitu Maf’ul bih yang terdiri dari isim zhahir (bukan kata ganti).

Contoh :    ضربَ عليٌ كلباً    : Ali memukul anjing

يقرأُ محمَّدُ قرآناً     : Muhammad sedang membaca Quran

 

2)      ضميرٌ           : yaitu Maf’ul bih yang terdiri dari isim dhamir (kata ganti).

Maf’ul bih dhamir terbagi menjadi dua, yaitu :

a.    Dhamir Muttashil (bersambung)

Maf’ul bih dhamir muttashil ada dua belas,yaitu :

ضربني, وضربنا, وضربكَ, وضربكِ, وضربكمَا, وضربكُمْ, وضربكنَّ, وضربَهُ, وضربهَا, وضربهمَا, وضربهُمْ, وضربهنَّ .

b.    Dhamir Munfashil (terpisah)

Maf’ul bih dhamir Munfashil ada dua belas, yaitu :

ايّايَ, وايَّانَا, وايَّاكَ, وايَّاكِ, وايَّاكمَا, وايَّاكُمْ, وايَّاكُنَّ, وايَّاهُ, وايَّاها, وايَّاهما, وايَّاهُمْ, وايَّاهُنَّ .

 

3.    Pola-pola Penempatan Maf’ul Bih

 مفعول به = قَرَأَ مُحَمَّدُ - القُرْآنَ - فاعل - فعل -1

  سَألَ النَّبِيَّ - رَجُلٌ =  فاعل  - مفعول به       فعل -2

(فعل  - فاعل)  -  مفعول به  = سأَلتُ رسولَ اللّهِ -3

(فعل -  فاعل  - مفعول به)  = أَمَرْتُكَ -4

فاعل = أَمَرَنِى - رَسُوْلُاللّهِ  - (مفعول به – فعل) -5

مفعول به -  (فعل  فاعل) = اِيّاكَ - نَعْبُدُ     -6

4.    Pembagian المفعول به berdasarkan tanda nasahabnya

1)      Tanda Nashob Fathah

a.    Isim Mufrad

يُذَاكِرُ مُحَمَّدُ اَلدَّرْسَ
( Muhammad sedang mengulangi pelajaran )
تَقْرَأُ الطَّالِبَاتُ الْجَرِيْدَةَ
( Para mahasiswi sedang membaca koran )
كَتَبَ الْوَلَدُ الدَّرْسَ
( Anak itu telah menulis pelajaran )
ضَرَبَ الْأُسْتَاذُ وَلَدًا
( Guru itu telah memukul anak )
شَرِبَتْ مَرْيَمُ اللَّبْنَ 
( Maryam telah minum susu )
أَكَلَ مُحَمَّدٌ الْخُبْسَ
( Muhammad telah makan roti )
ضَرَبَ عَلِيٌّ كَلْبًا
( Ali telah memukul anjing )
يَقْرَأُ مُحَمَّدٌ قُرْآنًا
( Muhammad sedang membaca al-Qur’an )
يَفْتَحُ أَحْمَدُ الْبَابَ
( Ahmad sedang membuka pintu )
تَحْمِلُ فَاطِمَةُ الْقَلَمَ
( Fatimah sedang membawa polpen )

b.    Jama’ Taksir

يُعَلِّمُ الْأُسْتَاذُ الطُّلَّابَ
( Guru itu sedang mengajar para mahasiswa )
يَحْمِلُ الْجُنُوْدُ اَلْأَسْلِحَةَ
( Para tentara sedang membawa senjata )
ضَرَبَ الْأُسْتَاذُ الْأَوْلَادَ
( Ustads telah memukul para anak )
تَحْمِلُ فَاطِمَةُ الْأَقْلَامَ
( Fatimah sedang membawa polpen-polpen )
يَفْتَحُ أَحْمَدُ الْأَبْوَابَ
( Ahmad sedang membuka pintu )

2)      Tanda Nashob Kasrah

a.    Jama’ Muannats Salim

تَشْتَرِيْ الطَّالِبَاتُ الْمجَلَّاتِ
( Para mahasiswi sedang membeli majalah )
يَجْمَعُ الطُّلَّابُ الْكُرَّاسَاتِ
( Para mahasiswa sedang mengumpulkan buku catatan )
يَغْسِلُ أَحْمَدُ السَّيَّارَاتِ
( Ahmad sedang mencuci banyak mobil )

3)      Tanda Nashob Ya’

a.    Mutsanna

يَحْمِلُ التِّلْمِيْذُ الْكِتَبَيْنِ
( Siswa sedang membawa dua buku)
تَقْرَأُ الْمُدَرِّسَةُ الْمَقَالَتَيْنِ 
( Guru itu sedang membaca dua makalah )
يَقْبِضُ الْبُوْلِيْسُ الْمُجْرِمَيْنَ
(Polisi sedang menangkap dua penjahat )
يَنْتَظِيْرُ الطُّلَّابُ الْحَاضِرَيْنَ
( Para siswa itu sedang menunggu dua hadirin )

b.    Jama’ Mudsakkar salim

يَقْبِضُ الْبُوْلِيْسُ الْمُجْرِمِيْنَ
(Polisi sedang menangkap para penjahat )
يَنْتَظِيْرُ الطُّلَّابُ الْحَاضِرِيْنَ
( Para siswa itu sedang menunggu para hadirin )
يُكَلِّمُ الْمُدِيْرُ الْمُوَظَّفِيْنَ
( Direktur itu sedang berbicara dengan para pegawai )

 

5.    Contoh Maf’ul Bih dalam Al-Quran (Surat At-Takasur)

B.   MASHDAR (ISIM ASAL)

1.    Pengertian Masdar

Masdar adalah lafadz yang berada pada urutan ketiga dari tashrifan fi’il Contoh:

 ضرب, ىضرب, ضربا.

Lafadz-lafadz yang menunjukkan kejadian, tidak mempunyai zaman, mengandung beberapa huruf fi’il, dan berupa lafadz, seperti contoh : علم, علما , atau dikira-kirakan (taqdiron), contoh : قاتل, قتالا, atau mengganti huruf yang sudah dibuang dengan huruf lain, contoh : وعد, وعدة .

2.    Pembagian Masdar

Masdar dibagi menjadi 2 :

1)      Masdar mim adalah masdar yang terdapat mim zaidah dsiawal kalimatnya, seperti contoh : منصرا, منطللق, منقلبة  

adapun masdar mim itu di fathah maim nya dngan mutlak, kecuali dari fiil bina matsal wawu , kalau bina missal wawu di kasroh ain fiilnya.

2)      Masdar ghoiru mim adalah masdar yang tidak terdapat mim zaidah diawal kalimatnya, seperti contoh : اجتهادا, قرأًةً, ِمدًا

 

3.    Wazan-wazan Masdar

1)      Wazan فَعْلٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasi dari setiap fi’il tsulasi yang muta’addi (yang membuahkan maf’ul) secara mutlak, baik dari fi’il madliyang ‘ain fi’ilnya dibaca kasroh atau fatha, binak shohih, mudlo’af, mahmuz, ataupun mu’tal.[5]

Contoh :

Dibaca fathah        :ضربا   ضرب    

Dibaca kasroh       :           فهما      فهم

Bina’ Mudlo’af     :          وعد   وعدا

2)      Wazan فَعَلٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya fi’il madly yang mengikuti wazan  فُعِلَ dengan dikasroh ‘ain fi’ilnya yang mmpunyai ma’na lazim secara mutlaq.

Contoh : فرح                      فرحا

3)      Wazan فَعُوْلٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya lafadz yang fi’il madlinya mengikuti wazan فَعَلَyang lazim secara mutlaq dari semua bina’.

 Contoh :

Binak shohih                     :           قعدَ        قعودٌ        Duduk

4)      Wazan    فِعَالٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya lafadz yang menunjukkan arti mencegah, keengganan (tidak patuh)

 Contoh :    جَمحَ       جَمَاحًا     Keras kepala

5)      Wazan فَعَلاَنٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya lafadz yang menunjukkan arti gerak, goncang dan bolak balik (taqollub).

Contioh :   جَالَ       جَوَلاَنًا    Berputar

6)      Wazan فُعَالٌ

Masdar ini menjadi masdar qiyasinya fi’il madli yang mengikuti wazan  yang menunjukkan arti penyakit/suara.

Contoh :    -Yang arti penyakit : زَكَمَ         زُكَامًا     Pilek

                                    -Yang arti suara : مَعًا                مُعَاءً      Menggoreng

7)      Wazan فَعِيْلٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya fi’il madli yang mengikuti wazan  yang menunjukkan arti berjalan/bersuara.

Contoh :    - Yang arti berjalan :   رَحَلَ      رَحِيْلَ     Berangkat

                -  Yang arti suara :        صَهَلَ     صَهِيْلَ    Meringkik

8)      Wazan فُعُوْلَةٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya fi’il madli yang mengikuti wazan  فَعُلَ.

Contoh :    سَهُلَ       سَهُوْلُةٌ     سَهْلٌ       Mudah

9)      Wazan فَعاَلَةٌ

Wazan ini menjadi masdar qiyasinya fi’il madli yang mengikuti wazan  فَعُلَ

Contoh :          جَزُلَ      جَزَالَةٌ     جَزِيْلٌ     Agung

 

4.    Perbadaan Antara Masdar dan Isim Masdar

المصدر هو اللفظ الدال على الحدث، مجردا عن الزمان، متضمّنا أحرفَ فعلهِ لفظًا، مثلُ:  (( عَلِمَ عِلْمًا)) ، أو تقديرا ، مثل : ((قاتل قتالا)، أو مُعوَّضَا مما حُذِفَ بغيره ، مثل : ((وعد عدةً))، و((سلَّمَ تَسْليْمًا).

اسم المصدر : هو ما ساوى المصدر في الدلالة على الحدث، ولم يُساوِه في اشتماله على جميع أحرف فعله ، بل خلتْ هيئتُهُ من بعض أحرف فعله لفظًا وتقديرا من غير عوضٍ، وذلك مثل : ((توضّأ وضُوءً))، و((تَكَلَّمَ كلامًا )) و((أيسرَ يُسرًا)).

Masdar adalah lafazh yang menunjukkan arti pekerjaan atau peristiwa, sepi dari zaman serta memuat/mencakup semua huruf-huruf Fi’il-nya baik secara lafazh.

Seperti : عِلْمًا masdar dari lafazh عَلِمَ . atau sekira-kiranya lafazh قَاتَلَ - قِتَالاً . atau dengan mengantikan huruf yang dibuang seperti lafazh وَعَدَعِدَةً

Isim Masdar adalah lafazh yang menunjukkan arti pekerjaan,sepi dari zaman, namun tidak memuat/mencakup pada semua huruf Fi’il-nya bahakan ada yang dikurangi secara lafazh dan kira-kiranya seperti contoh : تَوَضَّا - وُضُوْءً

 

C.   ZHARAF ZAMAN (KETERANGAN WAKTU) &

Pengertian zharaf zaman menurut ilmu nahwu ialah sebagai berikut :

ظَرْفُ الزَّمَانِ هُوَ اسْمُ الزَّمَانِ المَنْصُوْبُ بِتَقْدِيْرِ فِىْ

Artinya : zharaf zaman ialah isim yang menunjukan waktu (zaman) yang i’rabnya dinashabkan dengan memperkirakan makna fii (pada / dalam).

Jadi, setiap lafadz yang mengandung makna fii (pada/dalam) dan menunjukan waktu  maka itu adalah zharaf zaman. Contoh :

Contoh kalimat zharaf zaman :


 

D.   ZHARAF MAKAN (KETERANGAN TEMPAT)

Definisi zharaf makan menurut ilmu nahwu ialah sebagai berikut :

ظَرْفُ المَكَانِ هُوَ اسْمُ المَكَانِ المَنْصُوْبُ بِتَقْدِيْرِ فِىْ

Artinya : Zharaf makan ialah isim yang menunjukan tempat (makan) yang i’rabnya dinashabkan dengan memperkirakan makna fii (pada / dalam).

Jadi, setiap lafadz yang mengandung makna fii (pada/dalam) dan menunjukan tempat maka itu adalah zharaf makan. Contoh :


Contoh zharaf makan:

جَلَسْتُ اَمَامَ المَدْرَسَةِ = Aku duduk di depan kelas.

Demikian pembahasan kaidah ilmu nahwu yang berkaitan dengan zharaf zaman dan zharaf makan dalam bahasa arab. Semoga bermanfaat, .

Lebih jelasnya dapat di lihat beberapa Keterangan Tempat (Zharaf Makan) beserta

 

E.    HAAL

1.    Pengertian Hal ( الحَالُ )

( الحَالُ هُوَ الأِسْمُ المَنْصُوبُ المُفَسِّرُ لِمَا انْبَهَمَ مِنَ الهَيْاَتِ )

“Hal adalah isim yang dinashobkan yang menjelaskan keadaan-keadaan yang masih             samar”.

( نَحْوُ قَوْلِكَ جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا وَرَكِبْتُ الفَرَسَ مُسَرَّجًا وَلَقيْتُ عَبْدَ اللهِ رَاكِبًا وَمَا اَشْبَهَ ذَالِكَ )

Contoh:

Zaid datang sambil berkendaraan

 جَاءَ زَيْدٌ رَاكِبًا

Saya menunggangi kuda sambil memakai kendali

 رَكِبْتُ الفَرَسَ مُسَرَّجًا

Saya bertemu dengan Abdulloh sambil berkendaraan

 لَقَيْتُ عَبْدَ اللهِ رَاكِبًا

Saya bertemu dengan kekasih sambil tersenyum

 لَقَيْتُ الحَبِيْبَ تَبَسُّمًا

Sebenarnya tanpa kata رَاكِبًا , مُسَرَّجًا , تَبَسُّمًا pun, susunan kalimat telah dapat dimengerti maksudnya, namun serasa masih ada yang kurang yaitu kurang jelasnya keadaan atau tingkah ketika zaid datang, ketika kuda dikendarai dan ketika si saya bertemu dengan Abdulloh.

Kata رَاكِبًاpada contoh no 1,merupakan isim yang dinashobkan yang berfungsi untuk menjelaskan "Dalam keadaan bagaimana zaid itu datang ?"oleh karena itu maka ia kedudukannya sebagai haal ( dari fa'il ).

Kata مُسَرَّجًا pada contoh no 2, merupakan isim yang dinashobkan yang berfungsi menjelaskan keadaan yang belum jelas yaitu "Dalam keadaan bagaimana kuda tersebut dikendarai?"oleh karena itu, maka ia berkedudukan sebagai haal ( dari maf'ul )

Demikian juga kata تَبَسُّمًا pada contoh yang terakhir, ia merupakan isim yang dinashobkan yang menjelaskan keadaan yang masih samar yaitu "Dalam keadaan bagaimana saya bertemu dengan kekasih" atau Dalam keadaan bagaimana kekasih itu bertemu dengan saya ?". Dengan demikian ia berkedudukan sebagai haal ( dari fail atau dari maf'ul ).

Kata ,زَيْدٌ الفَرَسَ serta ta' pada lafadz لَقَيْتُ berkedudukan sebagai shohibul haal ( صَاحِبُ الحَال ) yakni kata-kata yang dijelaskan keadaannya oleh Haal.

 

2.    Ketentuan haal

(وَلاَيَكُوْنُ اِلاَّ بَعْدَ تَمَامِ الكَلاَمِ وَلاَ يَكُوْنُ صَاحِبُهَا اِلاَّ مَعْرِفَةً ).

1)      Haal harus terdiri dari isim nakiroh

2)      Haal harus terletak setelah susunan kalimat yang sempurna ( telah dimengerti maksudnya ), karena haal hanya berfungsi sebagai pelengkap

3)      Shohibul haal harus terdiri dari isim ma'rifat

Contoh lain:

a.    Pak guru mengajar sambil duduk

عَلَّمَ المُدَرِّسُ جَالِسًا

b.    Dua orang guru (lk) mengajar sambil duduk

 عَلَّمَ المُدَرِّسَانِ جَالِسَيْنِ

c.    Beberapa orang guru mengajar sambil duduk

 عَلَّمَ المُدَرِّسُوْنَ جَالِسِيْنَ

d.    Ibu guru mengajar sambil duduk

 عَلَّمَتْ المُدَرِّسَةُ جَالِسَةً

e.    Dua orang guru (pr) mengajar sambil duduk

 عَلَّمَتْ المُدَرِّسَتَانِ جَالِسَتَيْنِ

 

f.     Beberapa orang guru (pr) mengajar sambil duduk

 عَلَّمَتْ المُدَرِّسَاتُ جَالِسَاتٍ

Catatan: Hal biasanya dibentuk dari isim sifat seperti: isim fail dan isim maf'ul.

F.    TAMYIZ (PENJELASAN KATA BENDA)

1.    Pengertian

Tamyiz adalah isim nakirah yang disebutkan sebagai penjelas dari dzat atau nisbat yang masih samar, seperti (اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ كِتاَباً) dan (طَابَ الْمُجْتَهِدُ نَفْساً).

Perkara yang menjelaskan dinamakan  Tamyiz  atau  Mumayyiz atau Tafsir atau mufassir, dan perkara yang dijelaskan  dinamakan Mumayyaz  atau Mufassar.

Tamyiz memiliki makna (مِنْ) seperti halnya haal yang bermakna (فِي), sehingga ketika kita mengucapkan (اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ كِتاَباً), maka maknanya adalah (اِشْتَرَيْتُ عِشْرِيْنَ مِنَ الْكِتاَبِ), dan ketika kita mengucapkan (طَابَ الْمُجْتَهِدُ نَفْساً), maka maknanya adalah (طاَبَ الْمُجْتَهِدُ مِنْ جِهَةِ نَفْسِهِ).

Tamyiz terbagi menjadi dua, yaitu Tamyiz Dzat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz Mufrad) dan Tamyiz Nisbat (atau yang disebut juga dengan Tamyiz Jumlah).

1)      Tamyiz Dzat

Tamyiz dzat adalah tamyiz yang menjelaskan pada isim yang masih samar (isim mubham) yang dilafalkan,[2] seperti (عِنْدِي رِطْلٌ زَيْتاً).

 

Isim mubham ada lima macam, yaitu:

a.    Isim adad (hitungan), seperti (اِشْتَرَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كِتاَباً) “Aku membeli sebelas kitab.” Tidak ada bedanya jika adad tersebut sharih, seperti dalam contoh, atau mubham, seperti (كَمْ كِتاَباً عِنْدَكَ ؟) “Berapa kitab yang ada padamu?”

Adad ada dua macam, yaitu adad sharih (: yaitu adad yang sudah diketahui hitungannya, seperti (وَاحِدٌ) “satu” dan semisalnya) dan adad mubham (: yaitu adad yang tidak diketahui hitungannya, seperti (كَمْ) “berapa” dan semisalnya).

b.    Isim yang menunjukkan pada ukuran (sesuatu yang diukur dengan alat), yaitu adakalanya berupa jarak area, seperti (عِنْدِي قَصَبَةٌ اَرْضاً) “Aku mempunyai sekotak tanah,” atau timbangan, seperti (لَكَ قِنْطاَرٌ عَسَلاً) “Kamu mempunyai satu kuintal madu,” atau takaran, seperti (اَعْطِ الْفَقِيْرَ صَاعاً قُمْحاً) “Berilah orang fakir satu sha’ gandum,” atau ukuran, seperti (عِنْدِي ذِرَاعٌ جُوخاً) “Ada padaku satu dzira’ kain.”

c.    Isim yang menunjukkan pada perkara yang menyerupai ukuran (perkara yang menunjukkan pada sesuatu yang tidak tertentu), karena perkara itu tidak diukur dengan alat khusus.

Adakalanya menyerupai jarak area, seperti (عِنْدِي مَدُّ البَصَرِ اَرْضاً) “Ada padaku tanah sepanjang mata memandang,” atau timbangan, seperti (وَ مَنْ يَعْمَلْ مِثْقاَلَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ) “Barang siapa yang beramal sebesar atom, maka dia akan melihatnya,” atau takaran, seperti (عِنْدِي جَرَّةٌ ماَءً) “Ada padaku satu guci air,” atau ukuran, seperti (عِنْدِي مَدُّ يَدِكَ حَبلاً) “Ada padaku benang sepanjang tanganmu.”

d.    Isim yang diberlakukan seperti ukuran, yaitu semua isim mubham yang membutuhkan pada tamyiz dan penjelas, seperti (لَناَ مِثْلُ ماَ لَكُمْ خَيْلاً) “Ada padaku kuda yang seperti yang ada padamu.”

e.    Perkara yang merupakan cabang dari tamyiz, seperti (عِنْدِي خَاتَمُ فِضَّةٍ) “Ada padaku cincin perak.”

Hukum tamyiz dzat adalah boleh dibaca nashab, seperti yang telah kalian lihat, dan boleh dijerkan dengan (مِنْ), seperti (عِنْدِي رِطْلٌ مِنْ زَيْتٍ), atau dengan diidlafahkan, seperti (لَناَ قَصَبَةُ اَرْضٍ), kecuali jika diidlafahkan akan menyebabkan terjadinya dua idlafah, yaitu ketika mumayyaznya berupa mudlaf, maka pengidlafahan itu dilarang dan wajib untuk dibaca nashab atau dijerkan dengan (مِنْ), seperti (ماَ فِي السَّماَءِ قَدْرُ رَاحَةٍ سَحاَباً اَو مِنْ سَحاَبٍ). Dikecualikan dari hukum tersebut adalah tamyiznya adad, karena dia mempunyai hukum tersendiri.

2)      Tamyiz Nisbat

Tamyiz nisbat adalah tamyiz yang menjelaskan pada jumlah yang masih samar nisbatnya,[4] seperti (حَسُنَ عَلِيٌّ خُلُقاً), karena nisbatnya baik pada Ali masih samar yang memungkinkan pada banyak keadaan, lalu kita menghilangkan kesamarannya dengan mengucapkan (خُلُقاً).

Termasuk dalam tamyiz nisbat adalah isim yang jatuh setelah (ماَ) yang berfaidah ta’ajjub, seperti (ماَ اَشْجَعَهُ رَجُلاً).

Tamyiz nisbat terbagi menjadi dua, yaitu:

a)    Tamyiz Muhawwal, yaitu tamyiz yang asalnya adalah fa’il, seperti (وَ اشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْباً) yang asalnya adalah (اِشْتَعَلَ شَيْبُ الرَّأْسِ), atau maf’ul, seperti (وَ فَجَّرْناَ الْأَرْضَ عُيُوناً) yang asalnya adalah (فَجَّرْناَ عُيُونَ الْأَرْضِ), atau mubtada’, seperti (اَناَ اَكْثَرُ مِنْكَ ماَلاً وَ اَعَزُّ نَفَراً) yang asalnya adalah (ماَلِي اَكْثَرُ مِنْ ماَلِكَ وَ نَفَرِي اَعَزُّ مِنْ نَفَرِكَ).

Hukum tamyiz ini adalah selamanya dibaca nashab dan tidak boleh dijerkan dengan (مِنْ) atau dengan idlafah.

b)    Tamyiz Ghairu Muhawwal, yaitu tamyiz yang bukan pindahan dari yang lain, seperti (سَمَوتَ اَدِيْباً).

Hukum tamyiz ini adalah boleh dibaca nashab dan boleh dibaca jer dengan (مِنْ), seperti (سَمَوتَ مِنْ اَدِيْبٍ).

Perlu diketahui bahwa lafal yang jatuh setelah isim tafdlil, wajib dibaca nashab menjadi tamyiz, jika lafal itu bukanlah jenisnya lafal sebelumnya, seperti (اَنْتَ اَعْلَى مَنْزِلاً). Namun, jika termasuk jenisnya lafal sebelumnya, maka wajib dijerkan dengan diidlafahkan kepada (اَفْعَل), seperti (اَنْتَ اَفْضَلُ رَجُلٍ), kecuali jika (اَفْعَل) diidlafahkan kepada selain tamyiz maka wajib untuk membaca nashab tamyiz karena sulitnya mengidlafahkan untuk kedua kalinya, seperti (اَنْتَ اَفْضَلُ النَّاسِ رَجُلاً).

 

2.    Hukum-Hukum Yang Dimiliki Oleh Tamyiz

1)      Amil yang menashabkan dalam tamyiz dzat adalah isim mubham yang ditamyizi, sedangkan dalam tamyiz jumlah adalah fi’il atau syibih fi’il yang ada dalam jumlah itu.

2)      Tamyiz tidak boleh mendahului amilnya, jika amilnya berupa dzat, seperti (رِطْلٌ زَيْتاً), atau berupa fi’il, seperti (نِعْمَ زَيْدٌ رَجُلاً). Adapun menengah-nengahinya tamyiz dan ma’mul marfu’nya, maka diperbolehkan, seperti (طاَبَ نَفْساً عَلِيٌّ).

3)      Tamyiz harus berupa isim sharih, sehingga tamyiz tidak boleh berupa jumlah atau syibih jumlah.

4)      Tamyiz tidak boleh berbilang.

5)      Asalnya tamyiz adalah berupa isim jamid, namun terkadang berupa isim musytaq, jika berupa sifat yang menggantikan maushufnya, seperti (ماَ اَحْسَنَهُ عاَلِماً) karena asalnya adalah (ماَ اَحْسَنَهُ رَجُلاً عاَلِماً).

6)      Asalnya tamyiz adalah berupa isim nakirah, namun terkadang datang tamyiz dengan bentuk isim ma’rifat secara lafdzi dan maknanya nakirah, seperti (رَأَيْتُكَ لَماَّ اَنْ عَرَفْتَ وُجُوهَناَ * صَدَدْتَ وَ طِبْتَ النَّفْسَ يَا قَيْسُ عَنْ عَمْرِو) karena (ال) pada lafal itu adalah zaidah dan asalnya adalah (طِبْتَ نَفْساً).

7)      Terkadang tamyiz datang sebagai penguat atau taukid, yang bertentangan dengan pendapat kebanyakan ulama’, seperti (إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْناَ عَشَرَ شَهْراً), karena (شَهْر) disebutkan bukan untuk menjelaskan, karena dzatnya sudah diketahui, tetapi dia disebutkan untuk menguatkan.

8)      Tidak diperbolehkan untuk memisahkan diantara tamyiz dan ‘adad kecuali dalam dlarurat syair, seperti syair, (فِي خَمْسَ عَشَرَةَ لَيْلَةً مِنْ جُماَدَى لَيْلَةً) ketika yang diinginkan adalah (فِي خَمْسَ عَشَرَةَ لَيْلَةً مِنْ جُماَدَى).

9)      Ketika setelah tamyiz adad, seperti (أَحَدَ عَشَرَ) dan sesamanya atau (عِشْرُونَ) dan sesamanya, kita datangkan na’at, maka sah jika memufradkan na’at itu dengan dibaca nashab dengan melihat pada lafalnya tamyiz, seperti (عِنْدِي ثَلاَثَةَ عَشَرَ أَو ثَلاَثُونَ رَجُلاً كَرِيْماً), dan sah juga jika kita menjama’kannya dengan jama’ taksir dengan dibaca nashab, seperti (عِنْدِي ثَلاَثَةَ عَشَرَ أَو ثَلاَثُونَ رَجُلاً كِراَماً), karena (رَجُلاً) dalam contoh itu bermakna (رَجُلاً), tidakkah kalian melihat kalau maknanya adalah (ثَلاَثَةَ عَشَرَ أَو ثَلاَثُونَ مِنَ الرِّجاَلِ). Namun, jika kita menjama’kannya dengan jama’ shahih, maka diwajibkan untuk menanggungkan na’at itu pada dirinya sendiri dan menjadikannya sebagai na’atnya adad bukan tamyiz, seperti (عِنْدِي اَرْبَعَةَ عَشَرَ أَو أَرْبَعُونَ رَجُلاً صَالِحُونَ).

10)  Terkadang adad diidlafahkan sehingga tamyiz tidak dibutuhkan, seperti (هَذِهِ عَشَرَتُكَ وَ عِشْرُو أَبِيْكَ وَ أَحَدَ عَشَرَ أَخِيْكَ), karena tidaklah kita mengidlafahkannya kecuali jenis mumayyaznya sudah maklum bagi orang yang mendengarnya.

Dan dikecualikan dari itu adalah (اثْناَ عَشَرَ) dan (اثْنَتاَ عَشَرَ), maka tidak diperbolehkan untuk mengidlafahkannya, sehingga tidak boleh untuk diucapkan (خَذِ اثْنَيْ عَشَرَكَ), karena (عَشَر) disini menempati tempatnya nun tatsniyyah, dan nun tatsniyyah tidak boleh dijama’kan dan tidak boleh juga diidlafahkan, karena dia menempati tempatnya tanwin.

Perlu diketahui bahwa adad murakkab ketika diidlafahkan, maka pengidlafahannya itu tidak bisa melepaskan dari kemabniannya, sehingga kedua juznya dimabnikan fath, seperti halnya sebelum diidlafahkan, seperti (جاَءَ ثَلاَثَةَ عَشَرَكَ).

Namun, ulama’ Kuffah telah berpendapat kalau adad murakkab ketika diidlafahkan, maka juz awalnya dii’rabi sesuai dengan tuntutan amil dan juz keduanya dibaca jer dengan idlafah, seperti (هَذِهِ خَمْسَةُ عَشَرِكَ), (خُذْ خَمْسَةَ عَشَرِكَ) dan (اعْطِ مِنْ خَمْسَةِ عَشَرِكَ). Dan pendapat yang dipilih oleh para ulama’ nahwu adalah kewajiban memabnikan kedua juz adad murakkab.

 

G.   MUSTASNA (PENGECUALIAN)

1.    Pengertiab mustatsna.

Salah satu konteks kalimat yang sering digunakan adalah pengecualian. Pengecualian dalam bahasa arab disebut sebagai mustatsna'. Mustatsna' adalah isim manshub yang terletak setelah salah satu dari perangkat istitsna. Istitsna' digunakan untuk menyelisihi kata sebelumnya dalam hal hukum.

Contoh:

حضَرَ الرِّجالُ إلَّا زَيداً

artinya:

Telah hadir semua laki-laki kecuali Zaid.

زَيداً: Adalah mustatsna manshub dengan fathah.

Isim sebelum perangkat istitsna disebut sebagai mustatsna minhu. Sedangkan perangkat istitsna' adalah sebagai berikut:

حاشَ-عدَا-خلَا-سِوى-غيرُ-إلا

Semua perangkat istitsna' di atas bermakna kecuali.

 

2.    Hukum perangkat إلَّا terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1)      Wajib Manshub

Hal ini berlaku apabila kalimatnya mutsbat (tidak dinafikan) serta disebutkan mustatsna minhu.

Contoh:

حضَرَ الرِّجالُ إلَّا زَيداً

artinya:

Telah hadir semua laki-laki kecuali Zaid.

زَيداً: Adalah mustatsna manshub dengan fathah.

 

2)      Boleh menashabkan atau mengikuti i'rabnya mustatsna minhu sebagai badal apabila kalimatnya manfi (dinafikan) dan mustatsna minhu disebutkan.

Contoh:

مَا قامَ احدٌ الَّا زيداً

Artinya:

Tidak ada laki-laki berdiri kecuali zaid.

I'rab Zaid seama seperti i'rab pada contoh pertama.

Atau bisa juga dalam bentuk seperi berikut:

Contoh:

مَا قام احدٌ إلَّا زَيدٌ

Artinya:

Tidak ada laki-laki berdiri kecuali zaid.

زَيدٌ adalah badal bagi fa'il marfu' dengan dhammah.

3)      Dii'rab sesuai dengan kedudukannya dalam kalimat apabila kalimatnya manfi dan mustatsna minhu tidak disebutkan.

Contoh:

ما قُلتُ إلَّا الحقَّ

Artinya:

Tidak ada yang saya ucapkan kecuali kebenaran.

الحقَّ adalah Maf'ulun bih manshub dengan fathah. Hal ini dikarenakan kalimatnya manfi dan mustatsna minhu tidak disebutkan.

 

3.    Mustatsna dengan سوى dan غير

Isim setelah سوى dan غير selalu majrur dan di'irab sebagai mudhafun ilaih. Sedangkan سوى dan غير dii'rab sebagai mustatsna sebagaimana mustatsna pada إلا.

Contoh:

قام الرجل غيرَ زيدٍ

Artinya:

Semua laki-laki berdiri kecuali Zaid.

 غيرَ adalah mustatsna' manshub dengan fathah.

 زيدٍ adalah mudhafun ilaih majrur dengan kasrah.

ما قامَ غيرُ زيد

Artinya:

Tidak ada yang berdiri kecuali zaid.

غيرُ Adalah fail marfu dengan dhammah.

 

4.    Mustatsna dengan حاشا- عدا-خلا

Hukum mustatsna denga حاشا- عدا-خلا terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1)      Manshub sebagai maf'ul dimana  حاشا- عدا-خلا dii'rab sebagai fiil madhi.

Contoh:

عادتِ الطّائرة عدا طائرةً

Artinya:

Telah kembali semua pesawat kecuali sastu pesawat.

عدا adalah fiil madhi sedangkan fai'mya adalah dhamir mustatir dan طائرةً adalah maf'ulun bih  manshub.

2)      Majrur dimana  حاشا- عدا-خلا dii'rab sebagai huruf jar.

Contoh:

عادتِ الطّائرة خلا طائرةٍ

Artinya

Telah kembali semua pesawat kecuali satu pesawat.

 خلا adalah huruf jar mabny ala sukun (tetap dengan sukun) dan طائرةٍ adalah majrur oleh خلا dengan tanda kasrah.

Perlu diketahui bahwa حاشا- عدا-خلا hanya dii'rab dengan i'rab mustatsna apabila menunjukkan makna "kecuali". Jika tidak menunjukkan makna demikian, maka tetap dii'rab sesuai dengan posisinya dalam kalimat.

Demikianlah ulasan kita mengenai mustatsna ini, semoga bisa menambah wawasan dan pengetahuan kita dalam bahasa arab.

 

H.   ISMU LAA

بَابُ لاَ

( اِعْلَمْ اَنَّ لاَ تَنْصِبُ النَّكِرَاتِ بِغَيْرِ تَنْوِيْنٍ اِذَا بَاشَرَتِ النَّكِرَةِ وَلَمْ تَتَكَرَّرْ لاَ نَحْوُ لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ فَاِنْ لَمْ تُبَاشِرْهَا وَجَبَ الرَّفْعُ وَوَجَبَ تِكْرَرُ لاَ نَحْوُ لاَ فِى الدَّارِ رَجُلٌ وَلاَ امْرَأَةٌ. فَاِنْ تَكَرَّرَتْ جَازَ اِعْمَالُهَا وَ     اِلْغَاءُهَا فَاِنْ شِئْتَ قُلْتَ: لاَرَجُلَ فِى الدَّارِ وَلاَامْرَأَةَ وَاِنْ شِئْتَ قُلْتَ : لاَرَجُلٌ فِى الدَّارِ وَلاَامرَأَةٌ ).

 

ini akan menjelaskan لا yang berfungsi untuk menafikan atau meniadakan jenis. Dalam bahasa Arab لا semacam ini suka disebut dengan لا النَّافِيَةُ للْجِنْسِ ( tidak ada satupun ).

لا النَّافِيَةُ للْجِنْسِ ini beramal seperti halnya اِنَّ yaitu menashobkan  isimnya dan meropakan khobarnya, hanya saja isim لا dan khobarnya ini harus terdiri dari isim nakiroh.

Isim nakiroh yang telah dimasuki oleh" لا النَّافِيَةُ للْجِنْسِ harus dinashobkan tanpa memakai tanwin – jika:

1.    antara لا dan isimnya itu bersambung (tidak terpisah dulu oleh kalimat lain)

2.    لا nya tidak dibaca berulang-ulang.

Kata رَجُلَ " (jenis laki-laki ) dan kata إِمْرَأَةَ ( jenis wanita ) adalah isim nakiroh yang telah dimasuki oleh " لا النَّافِيَةُ للْجِنْسِ" sehingga i'robnya pun dinashobkan. Dalam hal ini kata " رَجُلَ dan kata إِمْرَأَةَ disebut Isim لا ( اسم لاَ ).

Kemudiana jika لا dan isimnya tidak bersambung ; terpisah dulu oleh kalimat yang lain, maka isimلاharus dirofakan dan لا –nya harus dibaca berulang-ulang.

 

Contoh:

Kata رَجُلَ " dan امرَأَةٌ ,kata رَيْبٌ dan kata  شَكٌّ serta kata   عِلْمٌdan   مَالٌ" adalah Isim لا  yang dirofakan, sebab antara لا dan isimnya tidak berhubungan langsung, tapi terpisah dulu oleh kata yang lain yaitu:" فى الدَّّارِ, فِيْهِdan لَنَا".

Selanjutnya jika gambarannya seperti yang pettama yakni"لا dengan isimnya berhubungan langsung;tanpa terpisah dulu oleh kalimat yang lain, serta لا-nya ingin dibaca berulang-ulang, maka kita boleh memilih antara dua cara berikut ini, yaitu:

1.    " لا" boleh difungsikan ( diamalkan )yakni لا itu menashobkan isimnya tanpa tanwin.

2.    " لا" tidak difungsikan (dianggurkan ) yakni . " لا" itu tidak menashobkan isimnya dengan tanpa memakai tanwin seperti biasanya.

 

I.      MUNADA (SERUAN)

1.    Definisi Munada 

Secara terminologi, munada adalah “seruan”, jika kita ingin memanggil seseorang maka yang dipakai adalah seruan (munada), contoh : “hai Zakir!”, "hai Feri", dan sebagainya, berarti jelaslah bahwa munada adalah memanggil atau menyeru seseorang dengan menggunakan huruf nida/munaada (seruan), salah satunya huruf ya. Muanda juga dapat diartikan dengan isim yang terletak setelah huruf nida', ( huruf-huruf nida' terdapat pada gambar di atas).

2.    Pembagian Munada

Munaada terbagi kedalam 5 macam, yaitu:

1)      Munada yang berbentuk mufrad 'alam

2)      Munada yang bersifat nakirah maqshudah

3)      Munada yang bersifat ghair nakirah maqshudah

4)      Munada yang berbentuk mudhaf

5)      Munada yang diserupakan dengan mudhaf

 

J.    MAF’UL MIN- AJLIH      

1.    Pengertian Maf’ul Min-Ajlih      

هُوَ اْلإِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الذِىْ يُذْكَرُ بَيَانًا لِسَبَبِ وُقُوْعِ الْفِعْلِ نَحْوُقَامَ زَيْدٌإِجْلاَ لاً لِعَمْرٍوَقَصَدْتٌكَ ابْتِغَاءَمَعْرُوْ فِكَ     

Maf’ul min-ajlih ialah isim manshub yang disebutkan untuk menjelaskan penyebab terjadinya suatu pekerjaan atau perbuatan.

Cotohnya adalah:

قَامَ زَيْدٌإِجْلاَ لاً لِعَمْرٍ = zaid telah berdiri sebagai penghormatan bagi’Amr.

قَصَدْتٌكَ ابْتِغَاءَمَعْرُوْ فِكَ = Aku bermaksud menemui karena mencari kebaikan.
 

2.    Ketentuan Maful Liajlih

Dalam bahasa arab setiap isim dengan kedudukan yang berbeda-beda memiliki ketentuan

1)      Maf’ul li ajlih itu hukumnya manshub

2)      Maf’ul li ajlih itu berbentuk masdar

3)      Diungkapkan untuk menjelaskan latar belakang dari suatu pekerjaan yang sedang di lakukan

Contoh :

كتب الطالب الدرس حبا للعلم

وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَإِيّاكُمْ إِنَّ قَتْلَهُمْ كانَ خِطْأً كَبِيرا      

  “ mahasiswa itu menulis pelajaran karena cinta terhadap ilmu” Kata   "حبا " disini manshub, sebagai maf’ul liajlih berbentuk masdar berasal dari kata kerja أحبيحبحبا, di datangkan untuk menjelaskan latar belakang dan tujuan mahasiswa itu menulis pelajaran.

3.    Lafazh-lafazh yang biasa menjadi maful liajli

1)      : حبّا Karena cinta        
يكتب الطالب الدرس حبّاً       

2)      : إكراماKarena hormat  

3)      :حزناًKarena sedih يبكى السرطي حزنا لموت اخيه         :

4)      خوفاًKarena takut  اجتحد الطالب خوفا من السقوط فى الامتحان           

5)      احتراماًKarena rasa hormat    يقوم الطالب احتراما لاستاذهم 

6)      إيماناًKarena iman صليت إيمانا باالله          
 

4.    Syarat Nashabnya Maf’ul Min Ajlih

syarat dari maf’ul min ajlih ada lima, yaitu:

1)      Harus berupa masdar.

Sehingga jika tidak berupa masdar, maka tidak diperbolehkan untuk membacanya nashab, seperti (وَ الْأَرْضَ وَضَعَهاَ لِلْأَناَمِ).     

2)      Harus berupa masdar qalbi, artinya dari perbuatan batin.

Sehingga jika tidak berupa masdar qalbi, maka tidak boleh dibaca nashab, seperti (جِئْتُ لِلْقِرَاءَةِ).  
 Masdar qalbi itu harus sama dengan amilnya dalam fa’il dan waktunya, artinya zaman dan fa’ilnya fi’il dan masdar harus sama, sehingga jika zaman dan fa’ilnya berbeda, maka tidak diperbolehkan dibaca nashab, seperti (
سَافَرْتُ لِلْعِلْمِ), karena zamannya bepergian adalah madli sedangkan zamannya ilmu adalah mustaqbal, dan (اَجْبَبْتُكَ لِتَعْظِيْمِطَ الْعِلْمَ) karena fa’ilnya mahabbah adalah mutakallim sedangkan fa’ilnya ta’dzim adalah mukhathab.

5.    Hukum Maf’ul Min Ajlih

Maf’ul min ‘ajlih mempunyai tiga hukum, yaitu:

1)      Dibaca nashab, ketika syaratnya sudah terpenuhi, menjadi maf’ul min ‘ajlih yang sharih. Jika ada lafal disebutkan untuk ta’lil tetapi syaratnya tidak terpenuhi, maka dia dijerkan dengan huruf jer yang berfaidah untuk ta’lil, seperti penjelasan diatas. Dan dianggap bahwa lafal itu bermahall nashab sebagai maf’ul min ‘ajlih ghairu sharih.

2)      Diperbolehkan mendahulukan maf’ul min ‘alih atas amilnya, baik dia dibaca nashab atau dijerkan, seperti (رَغْبَةً فِي الْعِلْمِ اَتَيْتُ).

3)      Tidak diwajibkan untuk membaca nashab masdar yang sudah memenuhi syarat untuk dibaca nashab menjadi maf’ul min ‘ajlih, tetapi boleh dibaca nashab dan boleh dibaca jer. Demikian itu terjadi ditiga bentuk, yaitu:

a.    Masdar dikosongkan dari (ال) dan idlafah, namun yang paling banyak adalah dibaca nashab, seperti (وَقَفَ النَّاسُ اِحْتِراَماً لِلْعِلْمِ).

b.    Masdar bebarengan dengan (ال), dan yang paling banyak adalah dijerkan dengan huruf jer, seperti (سَافَرْتُ لِلرَّغْبَةِ فِي الْعِلْمِ).

c.    Masdar itu diidlafahkan, kedua perkara itu (nashab atau jer) adalah sama, sehingga kita ucapkan (تَرَكْتُ الْمُنْكَرَ خَشْيَةَ اللهِ اَو لِخَشْيَةِ اللهِ اَو مِنْ خَشْيَةِ اللهِ).

K.   MA’FUL MAAH

1.    Pengertian Maf’ul Ma’ah

Ash-Shonhaji dalam al-Ajurumiyah mendefinisikan maf'ul ma'ah dengan:

ُالاِسْمُ الْمَنْصُوْبُ الَّذِي يُذْكَرُ لِبَيَانِ مَنْ فُعِلَ مَعَهُ الْفِعْل

"Isim nashab yang disebutkan untuk menjelaskan orang yang menyertai terlaksananya pekerjaan"

Jika disederhanakan, maf'ul ma'ah artinya isim nashab yang menyertai pelaku dalam melaksanakan sebuah perbuatan atau maf'ul ma'ah artinya kebesertaan

Dari definisi tersebut, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan agar suatu kata bisa disebut maf'ul ma'ah

 

2.    Syarat Maf'ul Ma'ah

Syarat maf'ul ma'ah seperti disebutkan dalam definisi di atas adalah sebagai berikut:

1)      berupa isim

2)      beri'rob nashab

3)      berfungsi menyebutkan kebesertaan 

Contoh: 

َجَاءَ الأمِيْرُ وَالْجَيْش

" Pemimpin beserta bala tentara telah datang"

atau contoh:

ََاِسْتَوَى الْمَاءُ وَالْخَشْبَة

"Air beserta kayu telah rata"

 

Lafadz الْجَيْش adalah maf'ul ma'ah yang menyertai kedatangan pemimpin. Demikian pula kata الخشْبَة yang menyertai kemerataan air. Kedua kata tersebut adalah isim nashab yang bermakna 'kebesertaan'. Maka kedua kata tersebut telah memenuhi syarat disebut maf'ul ma'ah.

Apa ada syarat lain untuk maf'ul ma'ah?

Dalam kitab jaamiu ad-duruus al-'aroobiyyah, al-Ghulaayainiy merinci syarat-syarat maf'ul ma'ah. Sebagai berikut:

a.      Isim yang menjadi maf'ul ma'ah harus berupafadlah (bukan pokok kalimat). 

Artinya, kalimat yang ada sebelum wawu bermakna مَعَ (selanjutnya disebut wawu ma'iyah) tetap bisa difahami meskipun tidak ada maf'ul ma'ah tersebut. Sedangkan jika kalimat setelah  wawu  termasuk  umdah (pokok kalimat), maka wawu tersebut tidak boleh dianggap sebagai wawu ma'iyah tetapi wawu 'athaf. Hal ini seperti contoh:

اِشْتَرَكَ سَعِيْدٌ وَ خَلِيْلٌ

"Sa'id dan Kholil berserikat"

Kenapa dalam kalimat tersebut kata setelah wawu (خَلِيْل) tidak bisa dinashabkan sebagai maf'ul ma'ah?

Sebab, yang namanya berserikat harus terdiri dari sekurang-kurangnya dua orang. Sedangkan jika dianggap wawu ma'iyyah dan kata خَلِيْل dianggap sebagai maf'ul ma'ah, maka keberserikatan Sa'id sendiri itu tidaklah logis. Jadi tidak bisa dikatakan اِشْتَرَكَ سَعِيْدٌ وَ خَلِيْلًا (Sa'id berserikat disertai Kholil) sebab kata خَلِيْل masih termasuk umdatul kalaam (pokok kalimat).

b.      Sebelum wawu harus merupakan jumlah (kalimat sempurna) 

c.       Wawu yang ada setelah kalimat sempurna harus memiliki makna مَعَ (beserta) 

Karena itulah wawu ini disebut wawu ma'iyah. Dalam hal ini, harus lebih berhati-hati menentukan apakah wawu ini wawu 'athaf atau wawu ma'iyah.

 

L.    KHABAR KAANA DAN SEJENISNYA (PREDIKAT KANA)

1.    Pengertian

Khabar kana adalah setiap khabar mubtada’ yang dimasuki oleh kana wa akhwatuha atau kana dan saudara-saudaranya. Untuk mengetahui macam-macam kana dan saudaranya dapat dilihat pada tulisan isim kana wa akhwatuha. Khabar mubtada tersebut akan menjadi khabar kana dan berubah hukumnya dari marfu’ menjadi manshub.

Khabar kana adalah setiap khabar bagi mubtada yang di masuki kana atau salah satu saudaranya.

Contoh:

كَانَ اْلمُعَلِّمُ حَاضِرًا (حاضرا : خبر كان منصوب بالفتحة)

أَصْبَحَ اْلعِلْمُ مُنْتَشِرًا (منتشرا: خبر أصبح منصوب بالفتحة)

ظَلَّ اْلقَضَاةُ عَادِلِيْنَ (عادلين : خبر ظل منصوب بالياء لأنه جمع مذكر سالم)

2.    Jenis-jenis khabar kana:

1)      Isim dhahir sebagaimana pada contoh-contoh di atas

2)      Syibhu jumlah (zharaf, jar dan majrur)

Contoh:

أَصْبَحَ الظِّلُّ فَوْقَ اْلأَزْهَارِ (فوق الأزهار: شبه جملة من ظرف ومضاف إليه خبر أصبح)

أَضْحَى السَّمَكُ فِي الشَّبَّكَةِ (في الشبكة : جار ومجرور خبر اضحى)

 

3)      Jumlah Ismiah atau fi’liyah

Contoh:

كَانَ الشِّتَاءُ بَرْدُهُ شَدِيْدٌ (برده شديد : جملة اسمية خبر كان)

مَاانْفَكَ الْحَزِيْنُ يَبْكِى (يبكى : جملة فعلية خبر ماانفك)

Untuk pembahasan jumlah ismiyah dan fi’liyah secara terperinci akan di jelaskan pada postingan tentang kalimat dan posisinya pada I’rab.

Khabar kana boleh didahulukan pabila syibhu jumlah dan isim nya itu ma’rifah.

Contoh:

أَصْبَحَ فِيْ حيرةِ الكسلانُ والمهملُ (في حيرة: جار ومجرور خبر كان مقدم

 الكسلان: اسم أصبح مؤخر  المهمل: معطوف على اسم أصبح)

Khabar kana wajib didahulukan apabila syibhu jumlah dan isim nya itu nakirah.

 

M.   ISIM INNA DAN SEJENISNYA (SUBJEK INNA)

1.    Pengertian

Diantara amil yang biasa masuk pada mubtada khobar adalah inna dan dan saudaranya. Inna  dan saudaranya ini cara kerjanya adalah kebalikan dari kaana dan saudaranya. Jika kaana saudaranya merofakan mubtada dan menashabkan khobar, inna dan saudaranya justru menashabkan mubtada dan merofa’kan khobar. Mubtada itu selanjutnya disebut dengan isim inna dan saudaranya, khobarnya disebut khobar inna dan saudaranya. Contohnya dalam al-Qur’an, akan kita bahas setelah mengetahui inna dan saudaranya. 'Amal (cara kerja) inna dan saudaranya menurut kitab jurumiyah adalah:

Berikut jawabannya sekaligus dengan fungsi dan contohnya masing-masing:

1)    إنَّ atau أنَّ artinya sesungguhnya/bahwa. Berfungsi للتَّوْكِيْدِ (memperkuat pernyataan). Contoh:

إنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِي... (البقرة: 26)

وَإنَّـكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ (القلم: 4)

وَإنَّـــه لَتَذْكِرَةٌ لِلْمُتَّقِيْنَ (الحاقة: 48)

2)    كَأَنَّ artinya seakan-akan. Berfungsi لِلتَّشْبِيْهِ (menyerupakan). Contoh:

كَأَنَّـهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَهَا لَمْ يَلْبَثُوْا إلَّا عَشِيَّةً أَوْ ضُحَاهَا (االنزعات: 46)

كَأَنَّـــه جِمَالَةٌ صُفْرٌ (المرسلات: 33)

كَأَنَّـهُنَّ الْيَاقُوْتُ وَالْمَرْجَانُ (الرحمن: 58)

3)    لَكِنَّ artinya tetapi. Fungsinya لِلْإِسْتِدْرَاكِ (menyusuli perkataan). Contoh:

قُلْ إنَّ اللهَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يُنَزِّلَ آيَةً وَلكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَعْلَمُوْنَ (الأنعام: 37)

إنَّ اللهَ لَذُوْا فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُوْنَ (يُونس: 60)

... وَمَا هُمْ مِنْكُمْ وَلكِنَّـهُمْ قَوْمٌ يَفْرَقُوْنَ (التوبة: 56)

4)    لَعَلَّ artinya semoga/jangan-jangan. Fungsinya لِلتَّرَجِّي (mengharap sesuatu yang mungkin) dan لِلتَّوَقُّعِ (merasa cemas). Contoh:

فَـلَعَلَّـكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آثَارِهِمْ... (الكهف: 6)

لاَ تَدْرِي لَعَلَّ اللهَ يُـحْدِثُ بَعْدَ ذلِكَ أَمْرًا (الطلاق: 1)

... كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّـكُمْ تَتَّقُوْنَ (البقرة: 183)

5)    لَيْتَ artinya andaikan. Fungsinya لِلتَّمَنِّي (mengharapkan sesuatu yang tak mungkin terjadi). Contoh:

... وَيَقُوْلُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَـنِيْ كُنْتُ تُرَابًا (النبأ: 40)

قَالَ الَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا يَا لَيْتَ لَنَا مِثْلَ مَا أُوْتِيَ قَارُوْنَ... (القصص: 79)

... يَا لَيْتَـنِي كُنْتُ مَعَهُمْ فَأَفُوْزَ فَوْزًا عَظِيْمًا (النساء: 74)

 

 

Masih ingat mengenai khobar ghoer mufrod yang hanya berubah i’robnya secara mahall saja?. Demikian pun jika ada khobar ghoer mufrod lalu dimasuki inna dan saudaranya, maka khobar itu menempati posisi i’rob rofa (mahal i'rob rofa') karena khobar inna harus rofa'. Contohnya:

يَا لَيْتَنِيْ كُنْتُ تُرَابًا

كُنْتُ تُرَابًا adalah khobar ghoer mufrod; jumlah fi'liyah, menempati mahal rofa' karena menjadi khobar inna

 

N.   DUA MAF’UL ZHONNA DAN SEJENISNYA

1.    Pengertian ظنّ وأخواتها

Dzonna wa akhowatuha adalah fiil-fiil yang menasobkan mubtada dan khabar mubtada dan menjadikannya sebagai dua maf’ulnya.

وامّا طننت وأخواتها فانّها تنصب المبتدأ والخبر على انّهما مفعولانلهاوهي ظنت وحسبت وخلت وزعمت ورأيت وعلمت ووجدت واتّخذت وجعلت وسمعت

Dzonna dan saudara-saudaranya berfungsi menasobkan (dhomah) mubtada’ dan khobar yang kedua-duanya menjadi maf’ulnya (maf’ul awal dan maf’ul kedua), yaitu ظننت (aku menduga);زعمت خلت حسبنت (aku menduga); علمت رأيت ووجدت (aku telah mengetahui dengan yakin); وجعلت واتّخذت (aku menjadikan); ) سمعتaku telah mendengar).

 

2.    Macam-macam ظنّ وأخواتها

اِنْصِبْ بِفِعْلِ الْقَلْبِ جُزْأَي ابْتِدَا أَعْنِي رَأَى خَالَ عَلِمْتُ وَجَدَا

Nashabkanlah sebab Fi’il Qulub terhadap dua juz ibtida (Mubtada dan Khabar), yakni aku maksudkan adalah: Ro’aa, Khoola, ‘Alima, Wajada.

ظَنَّ حَسِبْتُ وَزَعَمْتُ مَعَ عَدّ حَجَا دَرَى وَجَعَلَ اللَّذْ كَاعْتَقَدْ

Zhonna, Hasiba dan Za’ama, berikutnya ‘Adda, Hajaa, Daroo, juga Ja’ala yg seperti arti I’taqada (mempercayai).

وَهَبْ تَعَلَّمْ وَالَّتِي كَصَيَّرَا أَيْضَاً بِهَا انْصِبْ مُبْتَداً وَخَبَرَا

dan Hab, Ta’allam, juga yg searti dg lafazh Shoyyaro nashabkanlah juga dengannya terhadap mubtada’ dan khobar.

Keterangan:

Bagian Bab dari fiil-fiil nawasikh dzonna  dan saudara-saudaranya, menashabkan mubtada’ dan khobar sebagai dua maf’ulnya. Fi’il-fi’il pada bab ini terbagi dua, Af’aalul Quluub dan Af’aalut Tahwiil.

1)      Af’aalul Quluub

Dinamakan Af'aalul Quluub karena maknanya berkaitan dengan pekerjaan hati atau bersumber dari hati bukan pekerjaan anggota badan, seperti mengetahui, mengiraragu dan yakinsemuanya merupakan pekerjaan yang bersumber dari hati. Secara makna berarti pekerjaan-pekerjaan yg ada dalam hati seperti mengetahui, meyakini, menyangka, dll. Af’aalul Quluub dalam hal ini terbagi menjadi empat bagian:

a.    Berfaedah YAQIIN (meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:

a)    WAJADA. Contoh:
إنّا وجدناه صابرا
Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar

b)    TA’ALLAM. Contoh:
تعلم أن الربا بلاء
Ketahuilah sesungguhnya harta riba adalah petaka

c)    DAROO. Contoh:
وَلَا أَدْرَاكُمْ بِهِ
dan Allah tidak (pula) memberitahukannya kepadamu

b.    Berfaedah RUJHAAN (lebih cenderung pada meyakinkan ketetapan khobar), yaitu:

a)    JA’ALA (bima’na beri’tikad) contoh:
وجعلوا الملائكة الذين هم عباد الرحمن إناثاً
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan

b)    HAJAA, contoh:
حجوت الجوَّ بارداً
Aku memperkirakan cuaca dingin

c)    ‘ADDA, contoh:
عددت الصديقَ أخاً
Aku menganggap teman itu sebagai saudara

d)    HAB, contoh:
فقلت أجرني أبا مالك # وإلا فهبني أمرأً هالكاً
Aku Cuma mampu berkata: berilah aku kesempatan sekali lagi wahai Abu Malik! Jika tidak maka anggaplah aku sesuatu yg binasa.

e)    ZA’AMA, contoh:
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
Orang-orang yang kafir berdalih bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan.

c.    Umumnya berfaedah YAQIIN terkadang juga faedah RUJHAAN yaitu:

a)    RO’AA, contoh:
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا وَنَرَاهُ قَرِيبًا
Sesungguhnya mereka memandang siksaaan itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (mungkin terjadi). (RO’AA pertama berfaedah RUJHAAN dan RO’AA kedua berfaedah YAQIIN).

b)    ‘ALIMA, contoh:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah.

d.    Umumnya berfaedah RUJHAAN terkadang juga faedah YAQIIN yaitu:

a)    ZHONNA, contoh Rujhaan:
فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا مُوسَى مَسْحُورًا
lalu Fir’aun berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir.”
Contoh Yaqiin:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو رَبِّهِمْ
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya

b)    KHOOLA, contoh:
خِلتُ الدراسةَ مُتعةً
Aku menyangka belajar itu adalah bersenang-senang.

c)    HASIBA, contoh:
حسب المهملُ النجاحَ سهلاً
Orang iseng mengira kesuksesan itu mudah.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ
Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim

2)      Af’aalut-Tahwiil

Secara makna menunjukkan pada perubahan sesuatu, yakni merubah dari satu keadaan kepada keadaan yangg lain. Oleh karenanya dinamakan juga af’aalut-tashyiir, karena semua kata kerja pada bagian ini mempunyai arti syuyyiro (menjadikan). Yaitu:

a.    JA’ALA, contoh:
جعلت الذهب خاتماً
Aku jadikan emas itu sebuah cincin.
وقدمنآ إلى ما عملوا من عمل فجعلناه هبآء منثورا
Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan[1062], lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.

b.    RODDA, contoh:
رَدّتِ الاستقامةُ الوجوهَ المظلمة نيرةً
Istiqomah mengembalikan jalan kegelapan kepada terang benderang
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al Kitab, niscaya mereka akan

c.    TAROKA, contoh:
تركت الطلاب يبحثون في المسألة
Aku membiarkan siswa-siswa itu membahas suatu masalah.
وتركنا بعضهم يومئذ يموج في بعض
Kami biarkan mereka di hari itu[893] bercampur aduk antara satu dengan yang lain,

d.    ITTAKHODA, contoh:
اتخذت طالبَ العلم صديقاً
Aku jadikan pelajar itu sebagai teman.
واتّخذ الله إبراهيم خليلا
Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya

e.    SHUYYIRO, contoh:
صيرت الزجاج لامعاً
Aku jadikan kaca itu menjadi cermin.

f.     HAB, contoh:
وهبني الله فداء الحق
Semoga Allah menganugerahiku Fidaaul-haqq (balasan/tebusan kepada yg haq).

Post a Comment

0 Comments