Advertisement

Berperang Bukan Karena Benci

Ilustrasi gambar dari www.sekutukeadilan.com

Dalam sebuah perang khondaq, madinah tempat mukim kaum muslim dikepung dan akan diserbu sekitar 24.000 pasukan musuh yang dipimpin oleh Abu Sufyan dan Uyainah bin Hishin. Melihat situasi genting ini, Rasulullah SAW akhirnya menerima saran Salman al Farisi, seorang Muslim tua asal Parsi, yakni membuat parit mengelilingi negeri.

Singkat kata, ketika pasukan musuh menyerang, mereka terkejut dibuainya, karena tiada terduga di depan mereka telah terbentang parit menganga. Siapapun berani menyeberangi, begitu akan naik pasti ajal menemui, karena senjata lawan yang siaga.

Namun, ada sebagian pasuan musuh berhasil lolos yakni tetara berani mati pimpinan Amru bin Abdu Wudd. Dapat dipahami jika Amru yang gagah berani, secara congkak berteriak, “Siapa berani duel denganku?” mendengar tantangan ini hanya Ali yang mau meladeni.

Secepat kilat sosok Ali telah berada di hadapannya,lantas membuka bicara, “Hai Amru, aku masih ingat ketika dahulu kau bicara padaku, bahwa bila ada seorang dari quraisy menawarkan kepadamu dua perkara, niscaya kau akan mengambil salah satu darinya.” Amru menjawab, “Kau benar wahai Ali”.

Ali kembali bicara, “Oleh karena itu, pada kesempatan ini aku mengajakmu kepada jalan Allah dan Rasul-Nya serta Islam.” Si Amru merasa enggan sehingga mengatakan, “Aku tidak membutuhkan semua itu.”

Ali lantas berkata, “jika tawaranku yang satu kau tak mau, maka terimalah tawaranku lagi yang satu: berduellah denganku.”

Amru yang pemberani merasa menciut nyali, mengingat betapa Ali terkenal gagah berani. Namun, untuk menjaga harga diri ia menutupi dengan perkataan arogan tinggi, “Kenapa hai anak saudaraku? Demi laata, aku tidak suka membunuhmu.” Tetapi Ali menimpali, “kalau begitu biarkan aku yang membunuhmu.”

Mendengar tantangan menusuk harga diri, maka dengan keangkuhan dari kultur jahili, ia turun dari kuda, menyembelihnya, lantas menghadapi Ali dengan arogansi tinggi. Namun, hanya sejurus berikutnya, Ali telah mengacungkan pedang, lambang kemenangan dan usainya duel perkelahian.

Itulah kehebatan ali. Itulah keberanian Ali. Pantang surut dari siapa pun yang memusuhi agama ilahi. Tetapi dalam situasi apa pun ia tetap berusaha menjaga kebersihan hati dari rasa benci.

Suatu waktu, Ali kembali mendapat tantangan seorang pemberani dari prajurit musuh. Ali kembali maju, menyambut tantangan dengan penuh keyakinan dan diliputi nyala api keberanian.

Akhirnya duel terjadi, dan saling pukul terjadi berkali-kali. Suatu kali Ali berhasil memukul telak dan tepat, membikin musuh terjengkang ke belakang. Ali langsung melompat nekat, duduk di dada tepat. Sebuah pukulan akhir hendak diayunkannya. Tetapi, “cuhh!!!” tiba-tiba si musuh meludahi muka Ali.

Ali tak jadi mengayunkan pedangnya, menyurutkan tangannya, bahkan akhirnya pergi meninggalkan musuh dalam keadaan hidup. Pemandangan ganjil ini segera menimbulkan tanda Tanya. Orang lantas bertanya, “kenapa wahai Ali? Bukankah hanya dengan sekali ayun, musuh Allah itu akan tewas di tanganmu?”

Ali menukas tangkas, “aku tak mau membunuh musuh Allah, sementara aku dalam keadaan marah. Aku tak mau membunuh musuh Rasul, akibat rasa emosi setelah aku diludahi.”

Hikmah :
Kisah ini adalah salah satu kisah dari ribuan kisah yang dapat ita jadikan ‘ibrah bahwa dalam memperjuangkan Syiar Islam, kebencian tak boleh diikutsertakan. Orang boleh benci, tapi hanya benci karena Allah robbi. Orang boleh cinta, tapi hanya cinta karena Ilahi. Apabila rasa benci dan atau cinta tatkala menyiarkan kebajikan, dicampur dengan sentiment pribadi, maka sikap itu telah mendistorsi perjuangan.

Islam mengajarkan, seorang boleh benci kepada perampok, tapi bukan benci kepada orangya melainkan kepada tingkah lakunya. Bahkan, ketika si perampok mati, selama ia masih mengklaim diri sebagai Muslim, masyarakat Muslim tetap berkewajiban menyembahyangi. Itulah akhlak Islam.

Ketika ada seorang jenazah Yahudi lewat, Nabi Muhammad SAW berdiri sebagai lambing menghormat. Sahabat berkata, “wahai Rasul, orang yang mati itu beragama Yahudi, “ RAsul menjawab, “meski Yahudi, dia tetap manusia.” Jadi, yang tak boleh adalah mendoakannya.

Masihkah orang yang mencampuradukan kepentingan pribadi, kebencian diri, dalam memperjuangkan Islam layak disebut sebagai pejuang Islam? Bahkan, kita patut mempertanyakan munculnya “permusuhan” antara pemuka Islam. Benarkah mereka berjuang untuk Islam ataukah untuk arogansi pribadi, kelompok, dan golongan?

Padahal, iri hati antarmanusia hanya dibolehkan dalam konteks kebajikan, yakni iri kepada orang lain yang dapat berbuat baik, dan oleh karenanya ingin pula dapat berbuat baik serupa atau lebih darinya.

Jadi, iri bukan karena benci, atau sebaliknya benci karena iri.
Dalam soal kebajikan, Islam membolehkan untuk bersaing. Fastabiqul Khoirot, berlomba-lombalah kamu dalam kebajikan, itulah ajaran Nabi.
Namun, lebih baik lagi bila antarumat bekerjasama untuk kebajikan, dan menghindari kerjasama dalam rasa benci dan permusuhan.

Ta’awwanu ‘alal birri wattaqwa walaa ta’awwanu ‘alal itsmi wal’udwan.

Sumber: Kisah_dan_Hikmah_2, Dhurorudin_Mashad: Erlangga; 2001.

Post a Comment

0 Comments